“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”
― Pramoedya Ananta Toer
Sebagian dari Grameds mungkin tidak asing dengan penggalan kalimat di atas. Atau, masih asing namun setuju pada kalimat tersebut. Penggalan kalimat di atas merupakan salah satu dari sekian banyaknya quotes yang dihasilkan dari buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Gagasan tentang bagaimana setiap orang memiliki kesalahan dalam menilai kemampuan seseorang. Setelah satu abad kelahiran nya, tulisan dan karya nya tetap memberikan pemahaman dan semangat bagi banyak orang untuk bagaimana menjadi manusia.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Kalimat ini atas sungguh menggambarkan bagaimana Pramoedya saat ini. Sekalipun ia telah lama menghembuskan nafas, namun tulisan serta karya nya tidak pernah hilang dari sejarah dan tentu akan abadi. Untuk mengenang satu abad kelahiran sang penulis legendaris, Mincy persembahkan tulisan ini untuk para Grameds yang ingin memulai mengenal Pramoedya Ananta Toer.
Siapa Pramoedya Ananta Toer?
Pramoedya Ananta Toer adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari karya-karya sastra legendarisnya. Salah satu karya nya yang sangat legendaris dan juga menjadi awal bagi banyak orang dalam mengenal Pramoedya adalah Tetralogi Buru, yang merupakan empat series novel terbit sejak 1980-1988 dan sempat dilarang peredaran nya dikarenakan isi novel tersebut yang bertentangan dengan pihak tertentu.
Pramoedya lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925 sebagai anak sulung, dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sederhana dari sepasang suami istri yang merupakan seorang guru dan penjual nasi. Diketahui, semangat menulis Pramoedya telah muncul sejak kelas tiga sekolah dasar.
Hingga kini, lebih dari 50 karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, menjangkau pembaca di berbagai belahan dunia. Melalui tulisannya, Pramoedya menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan, mulai dari diskriminasi ras dan kelas sosial, kolonialisme, hingga pembatasan kebebasan berpikir dan berekspresi. Karya-karyanya bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan yang abadi melalui kata-kata.
Asal Pemikiran Kritis Pramoedya Ananta Toer
Seperti yang telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer lahir dari keluarga yang sangat sederhana bahkan terbilang berada di bawah garis kemiskinan. Sekalipun ayah nya berprofesi sebagai seorang guru, kebiasaan berjudi membuat keadaan ekonomi keluarga semakin sulit. Situasi ini semakin sulit sejak ibu dan adik bungsu nya meninggal pada saat Pramoedya berusia 17 tahun, membuat nya harus mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga dan bertanggung jawab atas ke-6 adik nya.
Menyadari besar berban yang dipikul oleh nya, Pramoedya pun memutuskan untuk merantau ke Jakarta membawa adik-adik nya. Di jakarta, ia bekerja di Kantor Berita Domei untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan keluarga nya. Sembari menafkahi adik-adiknya, tidak lupa Pramoedya memperkaya dirinya juga dengan ilmu dan juga pengetahuan yang berharga. Ia menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi dan mendapati ketertarikan mendalam pada filsafat, sosiologi, dan sejarah yang juga memiliki peran sangat banyak pada karya-karya nya.
“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” ― Pramoedya Ananta Toer
Ungkapan di atas yang juga ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini mencerminkan bagaimana pengalaman hidupnya yang penuh tantangan membentuk Pramoedya menjadi lebih kritis. Hidup berdampingan dengan berbagai ketidakstabilan ekonomi, perubahan kondisi sosial, dan juga berbagai gejolak kehidupan menjadikan Pramoedya seorang pemikir tajam yang menyuarakan ketidakadilan melalui tulisan-tulisannya.
Pandangan Anak Muda Terhadap Pramoedya
Dilansir dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh BBC Indonesia kepada lintas generasi tentang Pramoedya Ananta Toer, didapati berbagai pandangan. Namun, jika disimpulkan semuanya menyampaikan bahwa karya-karya Pramoedya memiliki kekuatan dalam menghipnotis pembaca nya dan membuat siapapun yang membaca jadi terbawa oleh pemikiran kritis Pramoedya.
Salah satunya adalah Chris Wibisana, seorang penulis cerpen bertemakan Hak Asasi Manusia. Ia menyampaikan bahwa sosok “Minke” yang memiliki keresahan dan kepekaan terhadap pentingnya pendidikan dan kesadaran akan adanya diskriminasi dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda maupun dalam budaya Jawa. Hal ini sangat menggejolak hati nya untuk dapat memiliki jiwa kepedulian dan kritis seperti Minke.
Chris menyampaikan bahwa Pramoedya selalu hadir dalam pemikirannya ketika ia berusaha mempertahankan harga diri dan jati dirinya. Ia juga menambahkan bahwa Pramoedya menginspirasinya untuk berani mempertanggungjawabkan pendapat pribadi, tidak mengikuti arus orang lain, serta memiliki kekuatan dalam menghadapi orang-orang yang menurutnya tidak layak untuk dihormati.
Rekomendasi Buku Pramoedya Ter-populer
- Bumi Manusia (1980)
Bumi Manusia merupakan salah satu karya besar dalam sejarah sastra Indonesia. Bahkan, buku ini diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara terkenal yakni Hanung Bramantyo, dan diperankan oleh sejumlah aktor ternama, seperti Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Ayu Laksmi, serta deretan bintang film lainnya.
Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1980, namun sempat menghadapi tantangan karena adanya pelarangan terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Meskipun demikian, buku setebal 538 halaman ini tetap dikenang sebagai salah satu mahakarya sastra Indonesia, yang tidak hanya memiliki nilai sastra tinggi tetapi juga menjadi bagian penting dari warisan sejarah bangsa.
2. Anak Semua Bangsa (1980)
Fakta menarik dari buku ini adalah, Pramoedya menulis buku Anak Semua Bangsa ini ketika ia sedang berada dalam masa pengasingan di Pulau Buru. Ia diasingkan dikarenakan dituduh terlibat dalam peristiwa September 1965. Meskipun dalam masa pengasingan, Pramoedya masih bisa menghasilkan beberapa karya, salah satunya adalah Anak Semua Bangsa.
Buku ini masih menceritakan tentang kehidupan Minke yang harus menjalankan hukuman atau konsekuensi atas pilihan nya untuk menjadi manusia merdeka dibandingkan mengikuti jejak ayah nya. Terdapat kisah-kisah haru lainnya dalam buku Anak Semua Bangsa ini. Melalui buku ini pula lah, Pramoedya Ananta Tour acap kali digadang-gadang sebagai peraih nobel untuk kategori sastra mewakili Indonesia dan Asia Tenggara.
3. Mangir (2000)
Berbeda dengan dua novel sebelumnya, buku Mangir ini berlatarkan setelah runtuhnya Majapahit pada 1527. Kisah ini mengangkat romansa Raja Wanabaya yang jatuh cinta pada seorang penari cantik, Adisaroh. Hubungan mereka ditentang oleh para patih kerajaan Mangir, namun Wanabaya bersikeras hingga akhirnya pernikahan mereka terwujud.
Seiring waktu, Adisaroh mengungkap jati dirinya, membuat Wanabaya kecewa dan memicu ketegangan di kerajaan. Buku ini banyak diminati oleh para pecinta buku novel sastra dikarenakan latar cerita nya yang unik dan bagaimana misterius nya kisah tersebut diceritakan pada setiap bab nya.
4. Jejak Langkah (1985)
Buku Jejak Langkah ini kembali mengisahkan kehidupan Minke yang menginjakkan kaki nya di Batavia untuk menempuuh pendidikan dokter di sekolah dokter Pribumi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sebagai manusia yang ingin lepas seutuhnya dari ikatan darah, adat, dan bumi, Minke merasa tertekan dengan peraturan-peraturan di sekolah seperti mengharuskan menggunakan pakaian adat Jawa.
Buku ini juga mengisahkan kehidupan romansa Minke setelah istri nya meninggal dunia pada buku sebelumnya. Dalam buku ini juga merupakan awal dari perlawanan Minke dengan keluar dari sekolah dokter Pribumi STOVIA dan melanjutkan hidup sebagai seorang jurnalis untuk melawan ketidakadilan.
Selain buku yang ditulis secara langsung oleh Pramoedya Ananta Toer, banyak pula tokoh-tokoh yang menulis kisah hidup dan juga perjuangan Pramoedya. Bahkan, terdapat beberapa buku yang dicetak ulang yakni buku yang termasuk ke dalam series Tetralogi Pulau Buru untuk merayakan seabad Pramoedya Ananta Toer. Di dalam nya juga terdapat beberapa tulisan milik Pramoedya yang belum pernah dipublikasi sebelumnya. Buku ini sudah tersedia di seluruh gerai Gramedia dan gramedia.com, info lebih lanjut mengenai buku seabad Pramoedya Ananta Toer dapat dilihat pada media sosial Instagram @penerbitkpg.
Referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c99y5418rp7o
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pramoedya_Ananta_Toer