Innovation, Transformed.

Bersama Gramedia, menginspirasi Indonesia menuju masa depan yang cemerlang.

Who we are?

Gramedia berdiri pada tahun 1970, PT Gramedia Asri Media atau kerap dikenal menjadi Toko Gramedia merupakan salah satu unit bisnis strategis di bawah Kompas Gramedia Group.
55 Tahun
#TumbuhBersama masyarakat
3513 Pegawai
Di seluruh Indonesia
1700+ Buku
Tercetak di Indonesia selama tahun 2024
1000+ Events
Berhasil dilaksanakan
Temukan kisah dan perjalanan kami disini!

Terus berkembang melampaui batas, membentuk masa depan yang lebih cerah melalui brand.

PT Gramedia Asri Media atau Toko Gramedia merupakan salah satu unit bisnis strategis di bawah Kompas Gramedia Group yang berfokus pada bisnis ritel dengan buku, alat tulis, produk non-books sebagai produk utamanya. Selain itu, Gramedia juga bergerak di bidang pendidikan untuk kemajuan pengetahuan di nusantara.
Pelajari lebih lanjut tentang brand

Testimonials

Apa kata mereka tentang Gramedia?
Dr. Andreas
“Senang bisa collab dengan Penerbit Gramedia, karena bisa nerima ide-ide yang unik dari penulisnya!”
Dr. Andreas, Penulis
Brian Khrisna
“Sejak kecil, saya suka banget dateng ke Gramedia dan saya termotivasi kalo suatu saat buku saya harus ada di Gramedia, dan akhirnya bisa nerbitin buku di Gramedia.”
Brian Khrisna, Penulis
Yoyok
“Promexx sudah menjalin kerjasama dengan Gramedia lebih dari 20 tahun, dan selama menjalin kemitraan kedua belah pihak mendapat benefit yang bagus.”
Yoyok, Mitra Gramedia

Latest updates

See all
Praktisi Indonesia Angkat Konsep “Certified Hunger” di Asia HRBP Forum 2025 Kuala Lumpur
26 November 2025

Praktisi Indonesia Angkat Konsep “Certified Hunger” di Asia HRBP Forum 2025 Kuala Lumpur

Jakarta, 26 November 2025 —  Ratusan praktisi Human Resources Business Partner (HRBP) dari berbagai negara Asia dan Asia Tenggara hadir dalam Asia HRBP Forum 2025 yang digelar pada 19–20 November 2025 di Pavilion Hotel, Kuala Lumpur. Salah satu sorotan dalam forum internasional ini datang dari Indonesia, melalui sesi yang dibawakan oleh Ewaldo Antonio Prospero Reis Amaral, penulis Certified Hunger Manifesto terbitan Elex Media Komputindo dan praktisi pembelajaran organisasi.

Pada sesi bertajuk “Certified Hunger: A Learning Framework for HRBPs to Drive Business Impact,” Ewaldo memperkenalkan kerangka kerja yang ia kembangkan sendiri, berfokus pada cara HRBP dapat membangun budaya belajar yang hidup, relevan, dan berdampak langsung pada kinerja bisnis. Ia menyebutkan bahwa banyak organisasi masih memandang pembelajaran sebagai aktivitas terpisah, berupa kelas, pelatihan, atau modul e-learning, bukan sebagai mesin penggerak performa.

Certified Hunger adalah cara berpikir. Ini tentang bagaimana kita sebagai HRBP membangun ekosistem belajar yang berjalan setiap hari, bukan hanya saat ada pelatihan,” ujar Ewaldo.

Suasana Asia HRBP Forum 2025 saat Ewaldo menyampaikan pemaparannya. 

Melalui kesempatan ini, Ewaldo memperkenalkan konsep The ‘O’ Cycle, sebuah siklus pembelajaran berkelanjutan yang menekankan humility & curiosity sebagai fondasi belajar, eksperimen, dan feedback sebagai bahan bakar pertumbuhan, serta refleksi sebagai ruang untuk mematangkan pembelajaran menjadi kebijaksanaan. Ia mempertegas bahwa pembelajaran harus menjadi “mesin,” bukan sekadar agenda tahunan. 

Kehadiran praktisi Indonesia di panggung internasional menandai semakin besarnya kontribusi praktisi Indonesia dalam membawa ide dan karya ke forum global. Pada sesi ini, buku Certified Hunger Manifesto karya Ewaldo menjadi salah satu rujukan yang memperkaya perspektif para peserta.

“Saya senang karena framework yang tadinya saya bangun untuk konteks Indonesia ternyata bisa relevan lintas negara. Ini menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu berkontribusi pada percakapan global soal learning dan HR,” ungkapnya.

Sebelum memulai perjalanannya sebagai penulis buku, Ewaldo telah dikenal sebagai trainer dan konsultan di bidang Learning & Leadership Development, membantu berbagai perusahaan membangun budaya belajar yang berkelanjutan, sistem pembelajaran yang efektif, kurikulum kepemimpinan, hingga strategi belajar yang terhubung dengan kinerja bisnis. Pendekatan Certified Hunger kini telah digunakan dalam berbagai program pelatihan dan pengembangan organisasi di Indonesia.

Gramedia x Save the Children Indonesia Hadirkan Program Penerbitan Buku Aksi Generasi Iklim
26 November 2025

Gramedia x Save the Children Indonesia Hadirkan Program Penerbitan Buku Aksi Generasi Iklim

Jakarta, 25 November 2025 —  Gramedia kembali menegaskan komitmennya dalam mendukung literasi dan isu iklim di Indonesia melalui kolaborasi bersama Save the Children Indonesia pada Festival Aksi Generasi Iklim 2025. Acara ini digelar pada Sabtu, 22 November 2025, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Festival yang merupakan bagian dari rangkaian Kick Off Gerakan Aksi Generasi Iklim diinisiasikan oleh Kemenko PMK dan Save the Children Indonesia untuk memperingati Hari Anak Sedunia yang jatuh pada 23 Juli 2025 lalu.

Festival ini semakin memperkuat peran Gramedia dalam aksi iklim dan literasi melalui Deklarasi & Penandatanganan Komitmen Bersama dan peluncuran program kolaborasi dengan Save the Children Indonesia. Pertunjukan teater multimedia bertajuk Aku, Kamu, Kita adalah Bumi, serta tiga pertunjukan imersif yang masing-masing mengusung tema Nafas Bumi, Penderitaan dan Kesakitan, serta Kesaksian dan Panggilan Aksi juga turut meramaikan penyelenggaran Festival Aksi Generasi Iklim 2025.

Matheus Manasye Lenggu sebagai perwakilan Gramedia, sampaikan komentarnya terhadap pertunjukan imersif Aku, Kamu, Kita adalah Bumi.

“Pertunjukan imersif tadi memberikan gambaran yang jelas dan jujur mengenai hubungan manusia dengan bumi. Pertunjukan ini sebagai pengingat kita untuk mengambil peran dalam upaya perlindungan lingkungan,” Puji Matheus Manasye Lenggu, S.E., M.M sebagai perwakilan dari Gramedia.

Selain mempersembahkan kekayaan seni Indonesia, Festival Aksi Generasi Iklim 2025 juga menjadi momentum penting dengan terlaksananya penandatanganan MoU antara Gramedia dan Save the Children Indonesia sebagai langkah awal kolaborasi program terbaru kedua pihak.

Bersama dengan Save the Children Indonesia, Gramedia mengumumkan program penerbitan dua buku Aksi Generasi Iklim:

  1. Buku inspiratif hasil program crowdfunding yang akan didonasikan kepada anak-anak binaan Save the Children Indonesia, disertai kegiatan penguatan literasi oleh tim Save the Children Indonesia.
  2. Buku interaktif yang didanai sponsor dan akan dipasarkan oleh Gramedia untuk meningkatkan kesadaran isu iklim bagi anak. Seluruh hasil penjualan buku interaktif ini akan didonasikan kembali kepada Save the Children Indonesia untuk mendukung program penguatan literasi.

Matheus menambahkan, “Selain dua buku tersebut, kami juga membuka kesempatan bagi masyarakat dan para mitra untuk ikut serta dalam program crowdfunding. Kami berharap dukungan ini dapat memperluas dampak dan memastikan lebih banyak anak mendapatkan akses terhadap bahan bacaan berkualitas.”

Festival Generasi Aksi Iklim turut dimeriahkan oleh rangkaian acara lainnya, seperti permainan cerdas iklim, pameran eco-friendly products, dan pertunjukan musik oleh Saung Angklung Udjo dan Purwacaraka yang menghadirkan nuansa hangat bagi para peserta yang hadir.

Gramedia percaya bahwa anak dan orang muda adalah agen perubahan dalam menghadapi krisis iklim. Karena itu, Gramedia mengambil peran aktif dalam menyediakan akses literasi melalui program kolaboratif yang membantu meningkatkan kesadaran serta menghadirkan solusi terhadap isu iklim di Indonesia.

‘Wicked: For Good’ Sudah Tayang, Yuk Ingat Lagi Apa yang Terjadi di ‘Wicked: Part 1’
24 November 2025

‘Wicked: For Good’ Sudah Tayang, Yuk Ingat Lagi Apa yang Terjadi di ‘Wicked: Part 1’

#HappeningToday - Buat para Grameds sekaligus Ozians, pastinya kabar tayangnya Wicked: For Good sudah bukan sesuatu yang mengejutkan lagi nih. Buat Grameds yang ingin nonton tetapi lupa dengan alur Wicked: Part 1 atau justru belum pernah nonton filmnya yang pertama, tak perlu khawatir karena artikel ini khusus untukmu!

Wicked: For Good secara resmi telah tayang pada 19 November lalu di Indonesia dan 21 November di seluruh dunia. Film yang terinspirasi dari novel berjudul sama karya Gregory Maguire ini sudah lama dinantikan oleh penonton di berbagai negara. Wicked sendiri pertama kali dialihwahanakan menjadi teater musikal pada 2003. Menariknya, hingga kini pertunjukan musikal legendaris tersebut masih tetap dipentaskan, menjadikannya salah satu teater musikal dengan masa tayang terpanjang.

Disutradarai oleh Jon M. Chu, Wicked: For Good akan mengajak penonton untuk menelusuri Emerald City untuk terakhir kalinya, sekaligus menyaksikan perkembangan hubungan dua karakter kesayangan kita, Elphaba dan Glinda. Meski banyak hal berubah, baik secara fisik maupun emosional, ada satu hal yang tetap sama: rasa sayang mereka satu sama lain.

Wicked: For Good menampilkan akhir dari perjalanan dua sahabat ini, terlepas dari perbedaan jalan yang mereka pilih dan lamanya mereka berpisah. Sangat disarankan bagi Grameds untuk menyiapkan tisu saat menyaksikan kelanjutan perjalanan mengharukan Elphaba dan Glinda. Nah, sebelum menyaksikan Wicked: For Good, yuk kita kilas balik alur dari Wicked: Part 1!

 
Kilas Balik Wicked: Part 1

Poster resmi film Wicked: Part 1.

Wicked: Part 1 mengajak penonton untuk berkenalan dengan karakter-karakter yang akan bawa kita ke Land of Oz. Mulai dari Elphaba Thropps (Cynthia Erivo), gadis berkulit hijau dengan keunikan yang membuatnya memiliki kekuatan istimewa. Berbanding terbalik dengan Elphaba, hadir Glinda (Ariana Grande), gadis cantik dan populer yang hangat, ceria, dan penuh percaya diri.

Selain dua perempuan hebat tersebut, terdapat beberapa karakter lain seperti Fiyero (Jonathan Bailey), pria karismatik yang menjadi pusat dinamika hubungan antara Elphaba dan Glinda, The Wizard (Jeff Goldblum), Madame Morrible (Michelle Yeoh), Nessarose (Marissa Bode) yaitu adik dari Elphaba, dan Boq (Ethan Slather). Kehadiran karakter-karakter ini cukup mewarnai alur dan konflik dari film Wicked: Part 1.

Cuplikan dalam film Wicked: Part 1. Sumber: Website IMDb

Kisah mendebarkan Wicked: Part 1 dimulai saat Glinda bertemu Elphaba di Universitas Shiz. Dari hubungan yang awalnya penuh persaingan, keduanya perlahan menyadari bahwa perbedaan di antara mereka justru menjadi kekuatan yang menyatukan. Bersama-sama, mereka kemudian menuju Emerald City untuk bertemu The Wizard, dengan harapan dapat membantu Elphaba mengembangkan kemampuan sihirnya.

Namun, Emerald City tidak seindah yang mereka impikan. Dari permainan kekuasaan, manipulasi, hingga penindasan terhadap makhluk-makhluk magis buat Elphaba kecewa dan kehilangan kepercayaan pada The Wizard. Kekecewaan inilah yang menjadi titik perpisahan antara dirinya dan Glinda. Elphaba memilih memberontak dan menolak ikut dalam permainan kekuasaan tersebut, sementara Glinda tak kuasa menolak tawaran menggiurkan dari The Wizard untuk menjadi bagian dari lingkarannya.

Perpisahaan ini jadi penutup dari Wicked: Part 1, meninggalkan penonton dalam rasa penasaran sekaligus harapan akan jawaban dari akhir kisah persahabatan mereka yang akan diceritakan di Wicked: For Good.


Kurang lebih seperti itulah kisah Wicked dalam versi film, yang ceritanya tidak jauh berbeda dari teater musikalnya, Grameds. Tapi, tahukah Grameds? Kisah Elphaba dan Glinda sebenarnya memiliki beberapa perbedaan menarik di karya aslinya, yaitu novel Wicked. Kalau penasaran seperti apa versi awalnya, Grameds bisa membaca bukunya di Gramedia Digital dan menjelajahi The Land of Oz langsung dari halaman pertama untuk merasakan perbedaan antara film dan novelnya

Gramedia senantiasa menjadi ruang berkarya bagi para penulis buku dalam menghadirkan karya asli yang bermakna bagi pembaca. Gabung dengan komunitas Gramedia Writers and Readers Forum untuk terhubung lebih dekat dengan dunia literasi melalui tautan di bio Instagram @gwrf.id.

Pameran “Petak Umpet Sastra Anak”, Upaya Mempopulerkan Kembali Novel Anak Karya Penulis Indonesia
21 November 2025

Pameran “Petak Umpet Sastra Anak”, Upaya Mempopulerkan Kembali Novel Anak Karya Penulis Indonesia

Yogyakarta, 7 November 2025 — Penerbit KPG, Museum Anak Bajang, dan Bentara Budaya berkolaborasi menyelenggarakan Pameran Arsip dan Ilustrasi “Petak Umpet Sastra Anak”. Acara berlangsung pada 7-16 November 2025 di Bentara Budaya Yogyakarta. 

Pameran yang dipicu peringatan setahun wafatnya Dwianto Setyawan (penulis buku anak Indonesia yang produktif tahun 1970-1980an) ini, digelar dalam rangka mengembalikan perhatian publik terhadap buku-buku anak karya penulis Indonesia, khususnya kategori novel middle grade yang pertama kali terbit tahun 1974 sampai sekarang. Selain menyoroti perjalanan seni visual dan narasi buku anak di Indonesia, kegiatan ini juga menyajikan serangkaian sesi diskusi, permainan anak, seni pertunjukan anak, pojok baca, dan bazar buku. 

Menggali Kembali Jejak Sastra Anak Indonesia

Sastra anak karya penulis lokal sejatinya pernah tumbuh subur. Era keemasan itu diperkirakan terjadi pada tahun 1970an, yang memunculkan nama-nama besar, seperti Dwianto Setyawan, Djokolelono, Arswendo Atmowiloto, Bung Smas, dan Kembangmanggis. Namun seiring waktu, novel anak semakin jarang menjadi buah bibir. Bahkan, banyak di antara karya sastra anak dan pengarangnya “dilupakan”. Padahal, kelahiran sastra anak di Indonesia dapat dikatakan berbarengan dengan sastra orang dewasa. Misalnya, cerita Si Jamin dan Si Johan, sekalipun karya saduran, telah disajikan Merari Siregar bersama Balai Pustaka pada 1921. 

Untuk itulah, pameran arsip dan ilustrasi bertajuk Petak Umpet Sastra Anak ini diadakan. Meski mengusung tema sastra anak, pameran ini tidak dimaksudkan sebagai penentu akhir tentang karya mana yang sastra dan bukan sastra di antara lautan merah buku anak. Pameran ini harapannya bisa mewadahi diskusi tentang sastra anak, sastra anak yang klasik, hingga upaya mewariskan karya ini dari generasi ke generasi.

Seperti kata Dwianto Setyawan di Harian Kompas, 5 Februari 1984, “Di balik kehadiran sebagian besar buku untuk anak-anak adalah sebuah tim yang terdiri dari penulis, ilustrator, dan editor. Buku untuk orang dewasa akan berhadapan dengan seorang pembaca, tetapi buku untuk anak-anak akan dihadapkan kepada pembaca yang terdiri dari beberapa kategori: anak-anak sendiri, orangtua mereka, guru, dan pustakawan.”

Bahu-Membahu Demi Sastra Anak

Awal 2025, Penerbit KPG bekerja sama dengan Setyaningsih (pengamat karya sastra) dan Nai Rinaket (ilustrator) sudah membuat langkah pertama lewat penerbitan kembali karya Dwianto Setyawan dan Djokolelono sebagai Seri Klasik Semasa Kecil. Tepat saat pameran ini digelar, total ada 15 judul yang dirilis dalam payung besar Seri Klasik Semasa Kecil dan satu buku kumpulan esai yang sejalan dengan tema pameran ini. Buku-buku yang termasuk dalam Seri Klasik Semasa Kecil karya Djokolelono, meliputi Terlontar ke Masa Silam, Pak Gangsir Juru Ramal Istana, Genderang Perang dari Wamena, Rahasia di Balik Lukisan, Hancurnya Jembatan Beru, Astrid dan Bandit, Astrid di Palungloro, Astrid Rumah Pohon, dan dua lagi yang akan terbit: Getaran dan Petualangan di Ruang Angkasa. Sementara Seri Klasik Semasa Kecil karya Dwianto Setyawan, terdiri dari Si Rejeki, Tanah sang Raksasa, Sersan Grung-Grung, Sersan Grung-Grung: Orang-Orang Serakah, Sersan Grung-Grung: Rahasia Gua Jepang, Sersan Grung-Grung: Komplotan Daun Emas, Sersan Grung-Grung: Penyamar Ulung. Dan esai Dwianto Setyawan, Melangkah ke Sastra Anak: Sehimpun Esai.

“Setelah buku-bukunya ada lagi, langkah selanjutnya adalah membuat buku-buku tersebut menjadi bahan pembicaraan. Jadilah Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini,” terang Christina M. Udiani, Manajer Redaksi dan Produksi Penerbit KPG.

Pembukaan dan Rangkaian Acara

Pameran Arsip dan Ilustrasi Petak Umpet Sastra Anak akan dibuka pada 7 November pukul 16.00 WIB oleh Sindhunata selaku penggagas pameran, pendiri Museum Anak Bajang, dan adik Dwianto Setyawan. Dalam pembukaan itu, Romo Sindhu–demikian ia biasa disapa–didampingi perwakilan penyelenggara, Christina M. Udiani (KPG) dan tiga kurator pameran: Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro Widyono. Diiringi tarian dari penari warok cilik, pintu Bentara Budaya dibuka dan peserta akan dimanjakan oleh alunan musik dari Orkestra Keroncong Sakpenake, juga pembacaan cerita “Terlalu Muluk” oleh Altaf Jaddan Adzaro, siswa SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Cerita diambil dari cerpen Dwianto Setyawan dalam buku Tanah sang Raksasa.

Area pameran sendiri bak mesin waktu yang membawa pembaca bernostalgia melalui sampul dan ilustrasi bacaan anak yang terbit mulai 1974, menyusuri proyek Inpres, banjir buku anak terjemahan, perjalanan DS Group melawan banjir buku anak terjemahan itu dengan komik dan ilustrasi, melihat novel-novel middle grade yang meraih penghargaan, hingga mengikuti kebangkitan kembali novel anak di Indonesia hari-hari ini. 

Mengenai pentingnya buku anak menjadi pembicaraan sehingga pameran ini terselenggara, Sindhunata menjelaskan, “Sesungguhnya usia anak-anak adalah saat di mana kebebasan itu dialami dan diimajinasikan secara tak terbatas. Anak-anak itu adalah insan yang merasa bisa ‘mengatur dirinya’. Ketika diawasi pun, mereka merasa tidak diamati, dan bisa berbuat serta berkhayal seperti maunya. Orang dewasa tak dapat sungguh menyelami apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran dan khayalan anak-anak itu. Itulah sesungguhnya yang coba diselami pengarang anak-anak, seperti Dwianto dan kawan-kawan.”

Selama pameran berlangsung, peserta juga bisa mengikuti sesi diskusi dan sederet aktivitas menarik. Mulai dari permainan detektif “Melacak Sersan Grung-Grung” bersama Detectives.id; lokakarya bercerita, membaca senyap spesial buku anak, book playdate, tur pameran bersama ketiga kurator, sampai berbagai diskusi mendalam. Salah satunya diskusi “Melangkah ke Sastra Anak” bersama Sindhunata, Reda Gaudiamo, dan Herdiana Hakim. Dalam diskusi ini, kita akan membahas upaya-upaya untuk menata sastra anak klasik dalam konteks Indonesia. 

“Sudah saatnya petak umpet ini kita selesaikan, tidak terus umpet-umpetan. Dengan semua dokumentasi dan analisa yang dikumpulkan dalam waktu terbatas di pameran ini, sudah waktunya untuk kita kembali mendengungkan sastra anak Indonesia. Perihal penyebutan sastra anak ini mengundang polemik, mari kita diskusikan bersama,” ujar Romo Sindhu saat Diskusi Pra-Pameran Petak Umpet Sastra Anak di Zoom beberapa waktu lalu bersama Elfira Prabandari (Pendiri Rembuku), Setyaningsih dan Hanputro Widyono.

Diskusi lainnya menghadirkan Djokolelono, Toni Masdiono, Aprinus Salam, Elfira Prabandari, Zulfa Adiputri, Maya Lestari GF, Akira Hujan Pertama, Leandra Generosa Adista, Hanie Maria, Ni Made Purnamasari, dan obrolan bersama redaksi Majalah Basis yang membuat satu edisi khusus tentang Dwianto Setyawan. 

Dukungan dan Kolaborasi

Acara ini terselenggara berkat dukungan Majalah Basis, Omah Petroek Karang Klethak, Rembuku, Detectives.id, Badan Bahasa Kemendikbud, Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta, Balai Bahasa Yogyakarta, Balai Pustaka, Kunang-Kunang, HUMI, Ruang Literasi Kaliurang, Charlotte Mason Indonesia cabang Yogyakarta, Radio Buku, Guru Bumi, Aliansi Mekar Pukul Empat, Suku Sastra, Semesta Kumbo, Buku Akik, Lingkar Antarnusa, Nusa Membaca, dan Gramedia. 

NIKA x Prose & Petals di Gafoy, Kelapa Gading: Book-Café  Pertama yang Menghadirkan Kurasi Buku Internasional
21 November 2025

NIKA x Prose & Petals di Gafoy, Kelapa Gading: Book-Café Pertama yang Menghadirkan Kurasi Buku Internasional

Jakarta, 14 November 2025 — Prose & Petals, sebuah konsep toko buku terkurasi di bawah naungan Gramedia, resmi dibuka di dalam ruang NIKA dalam bentuk book-café di Gafoy, Kelapa Gading. Kehadirannya menawarkan tempat untuk berhenti sejenak, membaca perlahan, dan menikmati suasana yang hangat serta tenang di tengah ritme Jakarta.

Berbeda dari toko buku konvensional, Prose & Petals menghadirkan pengalaman membaca yang lebih personal dan multisensori—dengan kurasi buku yang menggugah imajinasi dan mengundang refleksi.

Sementara NIKA menghadirkan konsep book-café yang dirancang untuk memperkaya pengalaman tersebut, menciptakan ruang yang intimate dan berkarakter, tempat literatur dan percakapan yang saling berpadu.

Gafoy, Kelapa Gading dipilih sebagai lokasi perdana karena karakter komunitasnya yang dinamis tetapi tetap menghargai kenyamanan, kedekatan, dan ruang yang ramah untuk interaksi. Di dalam NIKA, Prose & Petals menemukan rumah yang selaras. Atmosfer hangat, desain yang mengalir, dan karakter ruang NIKA menjadikan pengalaman membaca terasa lebih hidup dan menyentuh.

“Kami ingin menghadirkan pengalaman membaca yang lebih dekat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, bukan sekadar menjual buku. Ruang ini kami bayangkan sebagai tempat orang merasa hadir dan terhubung,” ujar Immaculata Adhista, perwakilan Gramedia.

Kolaborasi dengan NIKA memperkaya gagasan tersebut—di mana perspektif literasi dari Prose & Petals diterjemahkan melalui desain ruang yang menenangkan, berkarakter, dan mengundang kehadiran.

Suasana Grand Opening Prose & Petals di Gafoy, Kelapa Gading.

Acara pembukaan di Gafoy diawali dengan talkshow “Between Stories and Spaces” yang membahas bagaimana cerita, desain, dan pengalaman sensori membentuk cara manusia berinteraksi dengan ruang. Sesi ini juga menyoroti bagaimana membaca dapat menjadi ritual yang bermakna dalam keseharian.

“Kami memilih buku-buku internasional untuk memperluas wawasan pembaca dengan perspektif global, sekaligus menghadirkan referensi yang relevan dengan perkembangan literasi dunia. Buku-buku ini memiliki umur karya yang panjang, dan dalam beberapa tahun terakhir minat terhadap literatur internasional di Indonesia terus meningkat—terlihat dari tumbuhnya komunitas pembaca, klub buku independen, hingga keterbukaan terhadap topik lintas budaya dan isu global,” jelas Melissa, Kurator Buku Prose & Petals.

“NIKA selalu memiliki misi untuk menciptakan ruang di mana orang dapat connect, engage, and discover. Kolaborasi ini menjadi cerminan dari semangat tersebut—mempertemukan dua dunia yang saling menguatkan: literatur dan ruang yang hidup, memadukan desain dan komunitas dalam satu pengalaman yang bermakna.” ungkap Dolly Hardjono, pendiri NIKA.

Eric, Interior Designer NIKA dan Prose & Petals, menambahkan, “Kami merancang alur ruang yang terbangun secara sekuensial, melalui repetisi dan harmoni antara bidang vertikal dan horizontal. Ritme ini menghadirkan pengalaman ruang yang hidup—tenang dan puitis—tempat yang nyaman untuk membaca, berbincang, dan benar-benar hadir.”

NIKA x Prose & Petals hadir sebagai simbol baru ruang literasi yang personal dan relevan dengan ritme hidup masa kini—sebuah cara baru menikmati buku, ruang, dan waktu dalam satu kesatuan yang harmonis.