Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen-Z, Apa Artinya?

11 July 2025
Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen-Z, Apa Artinya?
Tidak benar-benar 'keluar' pekerjaan, lalu maksud dari quiet quitting itu apa?

Istilah yang populer beberapa tahun lalu, kembali digunakan dan menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Quiet quitting diprediksi mulai populer setelah masa Covid-19 dan ‘Great Resignation’ atau ‘Gelombang Pengunduran Diri Massal’ yang terjadi 2021 silam.

Quite quitting juga dipercaya sebagai gerakan kontras dari trend hustle culture. Kenapa bisa diartikan sebagai kontras? Memangnya quite quitting memiliki makna apa? 

Pahami arti dari quite quitting dengan penjelasan di bawah ini, yuk!


Pengertian Quiet Quitting 

Quiet quitting menggambarkan kondisi ketika karyawan hanya menjalankan tugas sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian kerja. Mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab tambahan yang tidak dibayar.

Seperti yang disebutkan oleh Harvard Business Review, karyawan tidak lagi memberikan usaha dan energi yang lebih (beyond and above). Karyawan sebenarnya masih mengerjakan tugas utamanya, hanya saja tidak memenuhi ekspektasi perusahaan. Ekspektasi ini dapat berupa kegiatan setelah jam kerja bersama karyawan lain, datang lebih cepat, meluangkan waktu di luar jam kerja, menunjukkan inisiatif, dan lain sebagainya. 


Alasan terjadinya fenomena quite quitting

Kepopuleran istilah quite quitting terjadi bukan tanpa sebab, istilah ini muncul sebagai respons atas berbagai kecemasan yang dialami oleh para pekerja—terutama Gen Z yang dikenal berani untuk tidak terpaku pada status quo. Apa saja faktor di balik munculnya quite quitting?

Stres akibat luapan pekerjaan, salah satu faktor pendorong quite quitting.


Tidak adanya tujuan karier yang jelas
Untuk bantu mengarahkan jalan karier yang jelas, perlu penetapan tujuan yang jelas. Tujuan ini juga mencakup langkah-langkah yang perlu kita ambil untuk mencapainya. Misalnya, jika seseorang ingin menjadi editor, membangun pengalaman dengan menulis artikel kecil bisa menjadi langkah awal yang penting. Dengan tujuan ini, seseorang akan termotivasi untuk terus melangkah menuju puncak tujuan yang diharapkan.


Tidak adanya apresiasi dari perusahaan
Perusahaan, khususnya atasan—seperti manajer—perlu untuk mengapresiasi kinerja karyawannya. Terkadang, ucapan “kerja bagus” yang sederhana sudah cukup untuk membuat karyawan merasa dihargai. Bayangkan kamu telah menorehkan darah, keringat, dan air matamu ke suatu tugas, tetapi tidak mendapatkan balasan apa-apa—tanpa hasil, tanpa ucapan terima kasih, tanpa arti.


Dorongan menerapkan work-life balance
Salah satu tren yang sedang dibicarakan akhir-akhir ini menjadi salah satu pendorong fenomena quite quitting. Quiet quitting dipercaya mendatangkan efek positif dengan menciptakan keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Quite quitting memberikan batasan yang jelas kapan seseorang harus profesional dan personal.


Khawatir akan kompetisi kerja 
Tak sedikit juga orang yang terpaksa menerapkan quite quitting, biasanya mereka merupakan pribadi yang sudah jenuh dengan pekerjaannya tetapi terlalu takut untuk resign dan tidak dapat pekerjaan baru, mengingat ketatnya lapangan pekerjaan di Indonesia saat ini. 


Tekanan mental dari dalam diri 
Faktor lainnya berkaitan dengan kesehatan mental, seperti stres, depresi, ataupun burn out. Tekanan mental ini dapat menyebabkan kejenuhan dalam bekerja, hingga akhirnya seseorang memilih untuk tidak lagi menghabiskan terlalu banyak energi demi menjaga kesehatan mentalnya.


Quite quitting sebenarnya positif atau negatif? 

Seperti tren lain, quite quitting menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Ada yang menganggap quite quitters—sebutan untuk mereka yang menerapkan quite quitting—hanya membuang-buang waktu. Menurut mereka, quite quitting mencerminkan sikap yang enggan mengambil risiko—bekerja hanya karena kewajiban, tidak ada ilmu dan pengalaman baru yang didapat.

Seperti yang diungkapkan Michael Timmes, HR Specialist di Insperity, lewat CNBC bahwa quite quitting juga dapat berdampak negatif bagi individu, seperti kekurangan motivasi, kurangnya perkembangan diri, dan kurangnya kemampuan untuk bekerja dalam tim. Terlebih, tren ini dapat menyebabkan kecemburuan dalam lingkungan kerja karena muncul anggapan bahwa sebagian orang tidak bekerja sekeras yang lain.

Menyeimbangkan dunia kerja dan kehidupan pribadi bantu menjaga kesehatan mental.

Tidak sedikit juga yang menganggap quite quitting justru berdampak positif, terutama dalam kesehatan mental. Menerapkan quite quitting bukan sebatas tidak ingin mendapatkan ilmu lebih, justru seseorang bisa memilih untuk mendapatkan ilmu dari tempat atau hal lain di luar pekerjaannya. Quite quitting menciptakan work-life balance, pola hidup yang diidam-idamkan oleh banyak orang.

Carrie Bulger, profesor Psikologi di Quinnipiac menyatakan bahwa para quite quitters paham bekerja bukan lah segalanya, mereka membagi energi, usaha, dan waktu mereka di area lain dalam kehidupan mereka. Carrie percaya quite quitting mendatang work-life balance, yang tidak hanya bermanfaat untuk perawatan diri, tetapi juga di area lain seperti menjadi lebih fokus dan produktif.