Takjil Literasi #1: Belajar dari Tokoh Ale dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

06 March 2025
Takjil Literasi #1: Belajar dari Tokoh Ale dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”
(sumber: gramedia.com)

“Aku ingin mati, tapi ingin mie ayam juga." – Penggalan kalimat ini berasal dari seorang pria berusia 37 tahun yakni, Ale. Memiliki badan dengan berat 138 kg dan tinggi 189 cm, berkulit gelap, dan memiliki masalah dengan bau badan, membuat Ale menjadi korban perundungan di sekolah sejak kecil. Jangankan memiliki teman di sekolah, keluarga nya saja pun tidak memberikan dukungan kepada Ale. 

Naas nya, saat dewasa, Ale didiagnosis psikiaternya mengalami depresi akut. Bukannya Ale tidak peduli untuk memperbaiki dirinya sendiri, ia peduli. Ale telah berusaha mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dirinya agar ia diterima di lingkungan pertemanan. Namun usahanya tidak pernah berhasil. Bahkan keluarganya pun tidak mendukungnya saat Ale membutuhkan sandaran dan dukungan. 

Beban mental yang terus ia pikul sejak kecil membawanya pada diagnosis depresi akut. Bukan berarti Ale tidak mencoba memperbaiki diri. Berkali-kali Ale berusaha mengatasi berbagai masalah yang membuatnya dijauhi. Namun, semua usahanya terasa sia-sia. Tak ada tempat untuknya, bahkan di dalam keluarganya sendiri.

Merasa lelah menjalani hari-hari nya yang penuh penolakan, Ale memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, sekalipun ia lelah dan memutuskan untuk segera mengakhiri hidup, Ia mempersiapkan kematiannya dengan baik. Alasan nya pun sangat mengharukan, yakni agar ketika mati pun, Ale tidak banyak merepotkan orang. 

Ale menentukan untuk mengakhiri hidup dalam kurung waktu dua puluh empat jam dari keputusan yang ia buat. Ale memilih untuk mengakhiri hidup dengan menelan obat antidepresan sekaligus yang ia miliki. Sebelum waktu itu tiba, Ale membersihkan apartemennya yang berantakan, memakan makanan mahal yang tak pernah ia beli, dan bahkan mabuk seolah merayakan perpisahan dengan dunia. Ketika waktunya tiba, Ale mengenakan kemeja hitam dan celana hitam—seolah sedang bersiap menghadiri pemakamannya sendiri. Dengan topi ulang tahun di kepalanya dan konfeti yang ia letuskan seorang diri. Iya, Ale merayakan ulang tahun nya sendirian sebelum ia mengakhiri hidupnya. 

Namun, tepat saat hendak menenggak semua obatnya, matanya terpaku pada tulisan kecil di kemasan: "Dikonsumsi setelah makan." Sebuah aturan yang tampak sepele, tetapi membuatnya tersadar bahwa ia belum makan. Perutnya tiba-tiba berbunyi, dan dalam satu keputusan kecil—keputusan yang benar-benar miliknya—ia memilih untuk makan dulu. Ia ingin menikmati seporsi mie ayam sebelum mati.

Pelajaran dari Ale dan Seporsi Mie Ayam

Kisah Ale mungkin terasa gelap, tetapi di baliknya ada pesan yang begitu kuat. Sering kali, seseorang bisa berada di titik terendah, merasa tak berarti, dan ingin menyerah. Namun, terkadang, hidup memberi kita alasan sekecil apapun untuk bertahan—bahkan sesuatu yang sesederhana semangkuk mie ayam.

Keputusan Ale untuk makan sebelum mengakhiri hidupnya mungkin tampak sepele. Tapi bagi seseorang yang sepanjang hidupnya merasa tak punya kendali atas apapun, memilih sesuatu atas keinginannya sendiri adalah bentuk kebebasan yang begitu berarti. Itu adalah momen di mana ia, untuk pertama kalinya, benar-benar mendengarkan dirinya sendiri.

Mungkin, kita semua punya "seporsi mie ayam" dalam hidup kita—hal kecil yang bisa membuat kita bertahan satu hari lagi. Entah itu secangkir kopi di pagi hari, obrolan singkat dengan teman, membaca buku dengan genre kesukaan, menonton film atau idola favorit, atau bahkan sekadar menatap senja sebelum malam tiba.

Dan mungkin, satu hari lagi bisa membawa sesuatu yang lebih baik.

Jika kamu atau seseorang di sekitarmu merasa seperti Ale—sendirian, tidak diterima, atau tidak memiliki alasan untuk bertahan—ingatlah bahwa satu keputusan kecil bisa mengubah segalanya. Tidak apa-apa merasa lelah, tidak apa-apa merasa kehilangan arah. Tapi sebelum menyerah, cobalah berikan dirimu satu hal kecil yang kamu sukai. Mungkin itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin, seperti Ale, kamu akan menemukan alasan untuk tetap ada—setidaknya satu hari lagi.

Mengenali diri dengan perkuat literasi

Dilansir dari Siloam Hospital, depresi mayor atau akut, merupakan gangguan mental kronis yang dapat berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau bahkan lebih lama. Penderita kondisi ini umumnya berisiko mengalami lebih dari satu episode depresi sepanjang hidup mereka. Ale, salah satu contoh nyata dari kondisi ini yang berjuang melawan gangguan mental sejak masa kecil hingga usia 37 tahun. Perjalanan panjang yang ia lalui tentu tidak mudah, dan hal ini menunjukkan bahwa depresi akut membutuhkan perhatian dan penanganan serius. 

Berbagai faktor dapat memicu depresi akut, baik dari internal atuapun eksternal, seperti konsumsi alkohol berlebihan, efek samping obat-obatan tertentu, serta pengalaman traumatis. Dalam kasus Ale, perundungan yang ia alami sejak kecil menjadi pemicu utama gangguan depresinya. Upaya pengobatan pun tidak sesederhana hanya dengan mengonsumsi antidepresan. Meski obat-obatan dapat membantu meredakan gejala, pemulihan yang lebih menyeluruh memerlukan pendampingan dari psikolog atau psikiater secara berkelanjutan.

Salah satu faktor yang sering luput dari perhatian dalam memahami dan mengatasi depresi adalah pentingnya literasi kesehatan mental. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang gangguan mental sering kali menyebabkan stigma yang semakin memperburuk kondisi penderita. Dengan meningkatkan literasi mengenai kesehatan mental, masyarakat dapat lebih memahami gejala, penyebab, dan cara penanganan depresi dengan lebih tepat.

Selain itu, rutinitas yang monoton, seperti bangun tidur, bekerja, pulang, dan tidur tanpa adanya variasi atau aktivitas yang bermakna, dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami perasaan hampa dan kesepian. Dalam hal ini, literasi tidak hanya terbatas pada pemahaman tentang kesehatan mental, tetapi juga mencakup kemampuan seseorang dalam menemukan cara-cara baru untuk mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang lebih bermakna, seperti membaca buku, menulis jurnal, atau menggali wawasan baru. Dengan demikian, literasi menjadi salah satu alat penting dalam menjaga kesehatan mental dan mencegah depresi semakin memburuk.

Referensi:

Pennebaker, James W. (1997), Opening Up: the Healing Power of Expressing Emotions. New York: Guilford Press.

https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/mengenal-gangguan-depresi-mayor