Pameran “Petak Umpet Sastra Anak”, Upaya Mempopulerkan Kembali Novel Anak Karya Penulis Indonesia

21 November 2025
Pameran “Petak Umpet Sastra Anak”, Upaya Mempopulerkan Kembali Novel Anak Karya Penulis Indonesia
Suasana Pameran Arsip dan Ilustrasi "Petak Umpet Sastra Anak" di Bentara Budaya Yogyakarta.

Yogyakarta, 7 November 2025 — Penerbit KPG, Museum Anak Bajang, dan Bentara Budaya berkolaborasi menyelenggarakan Pameran Arsip dan Ilustrasi “Petak Umpet Sastra Anak”. Acara berlangsung pada 7-16 November 2025 di Bentara Budaya Yogyakarta. 

Pameran yang dipicu peringatan setahun wafatnya Dwianto Setyawan (penulis buku anak Indonesia yang produktif tahun 1970-1980an) ini, digelar dalam rangka mengembalikan perhatian publik terhadap buku-buku anak karya penulis Indonesia, khususnya kategori novel middle grade yang pertama kali terbit tahun 1974 sampai sekarang. Selain menyoroti perjalanan seni visual dan narasi buku anak di Indonesia, kegiatan ini juga menyajikan serangkaian sesi diskusi, permainan anak, seni pertunjukan anak, pojok baca, dan bazar buku. 

Menggali Kembali Jejak Sastra Anak Indonesia

Sastra anak karya penulis lokal sejatinya pernah tumbuh subur. Era keemasan itu diperkirakan terjadi pada tahun 1970an, yang memunculkan nama-nama besar, seperti Dwianto Setyawan, Djokolelono, Arswendo Atmowiloto, Bung Smas, dan Kembangmanggis. Namun seiring waktu, novel anak semakin jarang menjadi buah bibir. Bahkan, banyak di antara karya sastra anak dan pengarangnya “dilupakan”. Padahal, kelahiran sastra anak di Indonesia dapat dikatakan berbarengan dengan sastra orang dewasa. Misalnya, cerita Si Jamin dan Si Johan, sekalipun karya saduran, telah disajikan Merari Siregar bersama Balai Pustaka pada 1921. 

Untuk itulah, pameran arsip dan ilustrasi bertajuk Petak Umpet Sastra Anak ini diadakan. Meski mengusung tema sastra anak, pameran ini tidak dimaksudkan sebagai penentu akhir tentang karya mana yang sastra dan bukan sastra di antara lautan merah buku anak. Pameran ini harapannya bisa mewadahi diskusi tentang sastra anak, sastra anak yang klasik, hingga upaya mewariskan karya ini dari generasi ke generasi.

Seperti kata Dwianto Setyawan di Harian Kompas, 5 Februari 1984, “Di balik kehadiran sebagian besar buku untuk anak-anak adalah sebuah tim yang terdiri dari penulis, ilustrator, dan editor. Buku untuk orang dewasa akan berhadapan dengan seorang pembaca, tetapi buku untuk anak-anak akan dihadapkan kepada pembaca yang terdiri dari beberapa kategori: anak-anak sendiri, orangtua mereka, guru, dan pustakawan.”

Bahu-Membahu Demi Sastra Anak

Awal 2025, Penerbit KPG bekerja sama dengan Setyaningsih (pengamat karya sastra) dan Nai Rinaket (ilustrator) sudah membuat langkah pertama lewat penerbitan kembali karya Dwianto Setyawan dan Djokolelono sebagai Seri Klasik Semasa Kecil. Tepat saat pameran ini digelar, total ada 15 judul yang dirilis dalam payung besar Seri Klasik Semasa Kecil dan satu buku kumpulan esai yang sejalan dengan tema pameran ini. Buku-buku yang termasuk dalam Seri Klasik Semasa Kecil karya Djokolelono, meliputi Terlontar ke Masa Silam, Pak Gangsir Juru Ramal Istana, Genderang Perang dari Wamena, Rahasia di Balik Lukisan, Hancurnya Jembatan Beru, Astrid dan Bandit, Astrid di Palungloro, Astrid Rumah Pohon, dan dua lagi yang akan terbit: Getaran dan Petualangan di Ruang Angkasa. Sementara Seri Klasik Semasa Kecil karya Dwianto Setyawan, terdiri dari Si Rejeki, Tanah sang Raksasa, Sersan Grung-Grung, Sersan Grung-Grung: Orang-Orang Serakah, Sersan Grung-Grung: Rahasia Gua Jepang, Sersan Grung-Grung: Komplotan Daun Emas, Sersan Grung-Grung: Penyamar Ulung. Dan esai Dwianto Setyawan, Melangkah ke Sastra Anak: Sehimpun Esai.

“Setelah buku-bukunya ada lagi, langkah selanjutnya adalah membuat buku-buku tersebut menjadi bahan pembicaraan. Jadilah Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini,” terang Christina M. Udiani, Manajer Redaksi dan Produksi Penerbit KPG.

Pembukaan dan Rangkaian Acara

Pameran Arsip dan Ilustrasi Petak Umpet Sastra Anak akan dibuka pada 7 November pukul 16.00 WIB oleh Sindhunata selaku penggagas pameran, pendiri Museum Anak Bajang, dan adik Dwianto Setyawan. Dalam pembukaan itu, Romo Sindhu–demikian ia biasa disapa–didampingi perwakilan penyelenggara, Christina M. Udiani (KPG) dan tiga kurator pameran: Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro Widyono. Diiringi tarian dari penari warok cilik, pintu Bentara Budaya dibuka dan peserta akan dimanjakan oleh alunan musik dari Orkestra Keroncong Sakpenake, juga pembacaan cerita “Terlalu Muluk” oleh Altaf Jaddan Adzaro, siswa SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Cerita diambil dari cerpen Dwianto Setyawan dalam buku Tanah sang Raksasa.

Area pameran sendiri bak mesin waktu yang membawa pembaca bernostalgia melalui sampul dan ilustrasi bacaan anak yang terbit mulai 1974, menyusuri proyek Inpres, banjir buku anak terjemahan, perjalanan DS Group melawan banjir buku anak terjemahan itu dengan komik dan ilustrasi, melihat novel-novel middle grade yang meraih penghargaan, hingga mengikuti kebangkitan kembali novel anak di Indonesia hari-hari ini. 

Mengenai pentingnya buku anak menjadi pembicaraan sehingga pameran ini terselenggara, Sindhunata menjelaskan, “Sesungguhnya usia anak-anak adalah saat di mana kebebasan itu dialami dan diimajinasikan secara tak terbatas. Anak-anak itu adalah insan yang merasa bisa ‘mengatur dirinya’. Ketika diawasi pun, mereka merasa tidak diamati, dan bisa berbuat serta berkhayal seperti maunya. Orang dewasa tak dapat sungguh menyelami apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran dan khayalan anak-anak itu. Itulah sesungguhnya yang coba diselami pengarang anak-anak, seperti Dwianto dan kawan-kawan.”

Selama pameran berlangsung, peserta juga bisa mengikuti sesi diskusi dan sederet aktivitas menarik. Mulai dari permainan detektif “Melacak Sersan Grung-Grung” bersama Detectives.id; lokakarya bercerita, membaca senyap spesial buku anak, book playdate, tur pameran bersama ketiga kurator, sampai berbagai diskusi mendalam. Salah satunya diskusi “Melangkah ke Sastra Anak” bersama Sindhunata, Reda Gaudiamo, dan Herdiana Hakim. Dalam diskusi ini, kita akan membahas upaya-upaya untuk menata sastra anak klasik dalam konteks Indonesia. 

“Sudah saatnya petak umpet ini kita selesaikan, tidak terus umpet-umpetan. Dengan semua dokumentasi dan analisa yang dikumpulkan dalam waktu terbatas di pameran ini, sudah waktunya untuk kita kembali mendengungkan sastra anak Indonesia. Perihal penyebutan sastra anak ini mengundang polemik, mari kita diskusikan bersama,” ujar Romo Sindhu saat Diskusi Pra-Pameran Petak Umpet Sastra Anak di Zoom beberapa waktu lalu bersama Elfira Prabandari (Pendiri Rembuku), Setyaningsih dan Hanputro Widyono.

Diskusi lainnya menghadirkan Djokolelono, Toni Masdiono, Aprinus Salam, Elfira Prabandari, Zulfa Adiputri, Maya Lestari GF, Akira Hujan Pertama, Leandra Generosa Adista, Hanie Maria, Ni Made Purnamasari, dan obrolan bersama redaksi Majalah Basis yang membuat satu edisi khusus tentang Dwianto Setyawan. 

Dukungan dan Kolaborasi

Acara ini terselenggara berkat dukungan Majalah Basis, Omah Petroek Karang Klethak, Rembuku, Detectives.id, Badan Bahasa Kemendikbud, Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta, Balai Bahasa Yogyakarta, Balai Pustaka, Kunang-Kunang, HUMI, Ruang Literasi Kaliurang, Charlotte Mason Indonesia cabang Yogyakarta, Radio Buku, Guru Bumi, Aliansi Mekar Pukul Empat, Suku Sastra, Semesta Kumbo, Buku Akik, Lingkar Antarnusa, Nusa Membaca, dan Gramedia.